Friday, November 1, 2013

Mimpi Itu Bernama Kenangan #2


1 November 2013, 11:10 AM


Suatu saat nanti
Kan kau lihat bayangmu pulas bermimpi
Hanyut tergenang hangat yang kualirkan
Muara ikhlasku di lautan

Tinggal aku yang semakin diusik mimpi
Mengagumi nuranimu
Menertawai kejujuranku yang tak kau maknai

Di sebuah hari yang lain
Hujan membalutku dalam kabutnya
Kemudian aku mengambang di angkasa
Memecah langit biru, mencarimu di setiap jengkal mata

Aku tiba di hadapan tiang-tiang tua
Disana aku menunggu
Dalam riuh kata yang kubentuk menjadi abu

Dalam mimpi sedih itu,
Engkau memaksaku untuk menyambung waktu
Sekalipun aku ingin mati
Menikmati sepi yang kau titipkan tanpa permisi

Tapi biarlah, aku pun sering berdiri di tempat yang kau kasihi
Meski hanya menghabiskan air mata
Untuk menggurat gemintang di sisinya

Engkaulah epilog terindah 
Yang kuikrarkan dalam hidup
Setiap kali kusahut suara
Dengan do'a yang masih terpetik sempurna



Seseorang memberiku sebuah jam biru. Di dalamnya, aku bisa melihat harapan-harapan yang dulu pernah kupanjatkan. Begitu nyata, begitu hidup. Sampai tiba-tiba hujan mengantarku ke depan sebuah rumah bercat kuning. Rumah yang tak kukenal, namun entah kenapa terasa tidak asing. Saat itu, aku merasa sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin, seseorang..

Di dalam sebuah kamar yang dingin, aku sedang bercakap-cakap dengan seorang teman sambil memerhatikan foto seorang perempuan berambut pendek dalam pigura yang tergantung di dinding. Lamunanku berhenti ketika sebuah suara hinggap di telinga. Aku keluar kamar dan mendapati dua orang wanita yang tak kukenal bersikap begitu ramah.

Aku kembali masuk kedalam kamar yang kini telah membeku. Lalu dari ambang pintu, aku melihatnya..

Ia berdiri dan tersenyum, seperti yang ia lakukan di mimpiku kemarin. Namun kali ini aku memberanikan diri untuk berdiri dan menghampirinya, sementara ia menghindar dan menjauh. Namun ketika aku mulai lelah, ia berbalik menghampiriku. Ia merangkulku, begitu dekat sampai bisa kuhirup aroma tubuhnya yang menenangkan dan membuatku tak ingin bergeming.

Ia menanyakanku sesuatu, tapi bukannya menjawab, aku malah berdiri dan berjalan ke depan pintu. Disana aku melihat banyak sekali manusia membentuk sebuah lingkaran, mengelilingi jurang besar yang dasarnya tak bisa kulihat.

Tiba-tiba, aku kembali berada di kamarku. Aku ketakutan, takut tak bisa bertemunya lagi. Kemudian, dengan penuh cemas, aku kembali masuk kedalam jam dan mencari dimana harapan itu kusimpan. Kemudian aku menemukannya.

Aku kembali berada dalam rumah yang sunyi. Semua penghuni tertidur lelap, namun aku tak menemukannya terbaring diantara mereka. Aku ingin menangis, detak jantungku berderap seperti tanpa jeda. Hingga saat aku hampir saja menyerah, aku melihatnya tertidur dalam sebuah kamar di sudut ruangan. 

Mata itu terpejam damai, seperti anak kecil yang merasa aman dalam dekapan ibunya. ia meringkuk kedinginan, lalu kuselimuti tubuhnya..

Aku duduk di sisinya sambil menahan air mata. Senyumku merekah, tapi mengapa aku ingin menangis?

Dan.. sebelum aku sempat mengucapkan selamat tidur untuknya, seseorang mengetuk pintu dan berkata dengan suara parau, "Seseorang telah mengetuk pintu, dan menumpahkan senja yang merah di atas pangkuanmu.."

Mimpi sedih itu hilang begitu saja seiring terpautnya sepasang mata. Kepalaku masih berkabut, namun matahari sudah semakin tinggi. Aku menunduk dan menenangkan relungku. Aku menunduk semakin dalam dan membiarkan pangkuanku basah. 

Masih dalam barisan hari yang sama, tak kuingkar bahwa sejatinya ia masih ada..
Meski hanya sekedar mengingat, tanpa bisa ikut serta menari di dalamnya..

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search